News !

Rabu, 16 Mei 2012

Lentera sedepa

Oleh : Abdul Basith Ashomadi


Hari yang paling indah dalam berumah tangga adalah, saat hari-hari pertunangan kami. Semuanya serba indah, senyumnya, teleponnya, sms mesranya, matanya. Semuanya.

“semalem mimpi aku gak, Mas.?”
Lalu aku menjawabnya dengan lembut, “semalem aku harus minum CTM dulu baru bisa tidur, kenapasih aku selalu memikirkan kamu? Kenapasih aku mencintaimu? Kenapasih aku begitu menyayangimu? Jawab donk, kamu jahat telah mencuri hatiku, Dik.!” Sms-sms kami saat masa pertunangan dulu, satu tahun yang lalu.


“aku tahu jawabannya Mas, karena aku juga sama dengan pertanyaan sampean!”
Indahnya saat-saat itu. Sekarang, semuanya serba membosankan.! Aku atau istrikukah yang membuat keadaan rumah kami begitu kerontang.? Wahai bosan, kenapa kau dating.? Hingga membuat wajahnya kini tak beda denga wajah-wajah perempuan yang aku temui, suaranya aku rasakan seperti guntur, bibirnya kering seperti gurun, betisnya seperti kayu bakar, rambutnya seperti sapu. Padahal sebentar lagi perutnya meledak dan mengejutkan para tetangga dengan kelahiran seorang bayi yang menjadi tali pengikat hubungan kami. Ya Allah kembalikanlah keindahan masa-masa itu.

Pada suatu malam sepulang aku bekerja, kami harus bertengkar, sebab dimeja makan hanya tersedia nasi yang sudah dingin.

“Sudah habisya Dik jatah bulanannya.?” Tanyaku dengan lembut.
“Mas egois,” Bentaknya. “tidak pernah memikirkan istrinya apakah sakit atau kecapean, tidak pernah memberikan kasih sayang lagi, mas sudah berubah. Kemana Mas yang kukenal dulu? Yang penuh perhatian menjadi imamku, yang tak pernah menduakan aku dengan pekerjaan.? Mas egois!”

“Aku itu kerja demi keluarga kita, demi kamu. Kenapa kamu berpikiran dangkal seperti itu sekarang. Kamu menyalahkan aku karena mencarikan makan buat kamu.?” Pertengkaran kami pada suatu malam itu kami akhiri dengan aku yang memilih berpindah tempat tidur di sofa ruang tamu.

Syahdan, bukan hanya istriku saja yang mempunyai sayap panjang, jika di serupakan dengan burung. Mungkin semua wanita mempunyai sayap yang panjang, mereka lebih senang terbang tinggi, berimpi, berangan-angan. Beda dengan lelaki yang walaupun sayapnya panjang, tapi mereka lebih suka membumi. Mereka lebih memilih hal yang realitas, walaupun kadang kami para lelaki juga terbang.

Yah, aku tau sekarang, sebab istriku mengatakan aku seorang yang egois. Tapi aku juga berpikir kalau aku juga salah. Sebelum dia mengatakan itu, bukankah dia selalu menjaga aku supaya tidak terbangun saat mata ini terpejam, dia membangunkan aku untuk solat malam dengan lembutnya ciuman, dia rela mencuci kakiku sepulang aku bekerja, dan aku membalasnya dengan pulang malam lalu tidur dan berangkat lagi saat terbangun.? Ya Allah, ampuni salahku pada istriku. Ampuni dosaku dihari-hari yang telah berlalu.

Bebrapa bulan ini aku mencoba untuk merubah sikapku, aku mulai memberikan sesuatu yang baru padanya, mengajaknya makan di luar rumah walaupun hanya nasi lengko kaki lima, mengajaknya ke bioskop, mengajaknya ke taman bunga. Saat kami berada ditaman bunga, dia menanyakan sesuatu padaku. “Benarkah cinta itu terhormat? Cinta seperti anak kecil yang selalu bermain dan bersuka-ria selamanya, dan tidak pernah dewasa. Dia selalu bersama orang yang berdansa, bernyanyi dan tidur di atas kasurnya. Masihkah sampean berprinsip cinta itu terhormat.? Dialah yang merenggut keperawananku, untukmu. Hatiku, untukmu dan hidupku, untukmu. Dia merenggut semuanya dari aku Mas, dan aku tidak berhak merebutnya lagi dari sampean.?”

“Itulah cinta, Dek. Dia harus memulai dan merampas semuanya.” Jawabku dengan menatap matanya. Istriku memang sosok wanita yang tidak dangkal; banyak sesuatu yang aku dapatkan dari dia. Aku membayangkan jiwa istriku seperti istri ke-dua presiden Soekarno, Siti Suhartini Soekarno, yang di panggil Hartini. Dengan bantuan kasih sayangnyalah, Bung Karno bisa mempertalikan keberanian dan keteguhan hatinya dalam menyelesaikan kemelut di pertengahan hingga akhir dasawarsa 1950-an yang pada saat itu adalah masa-masa kritis Indonesia. Lalu aku memetik setangkai bunga di taman bunga itu, aku membentuk tangkainya bulat seperti cincin, kemudian aku menyematkannya di jari lentik istriku, dia tersenyum dengan rona merah.

“Tadi malam aku bermimpi, hampir sama dengan kejadian barusan tadi Mas, sampean membuatkan aku cincin dari setangkai bunga, tapi anak kita yang masih dalam perutku inilah yang memakainya. Aku seperti pergi jauh, aku juga tidak sempat memberinya susu, Mas. Apakah itu pertanda aku akan mati setelah melahiran anak kita ya Mas.?” Ceritanya sembari memandangi cincin bunga itu. Cemas.

Aku memeluknya dengan lembut.“Mungkin dengan kedatangan jabang bayi ini, hidup kita akan semakin indah Dek. Seperti bunga di taman ini yang pernuh warna-warni. Kamu janagn mikirin hal-hal yang aneh-aneh.” Kulepas pelukanku. Aku berusaha menenangkannya dengan mencium perutnya yang semakin hari, semakin membuncit.

“Amin. Mudah-mudahan, Mas.” Jawabnya dengan menatap mataku penuh sorot harapan.

Sudah sembilan bulan, hari-hari saatnya isriku melahirkan. Popok bayi, pakaian bayi, bedak bayi dan semua perlengkapan menyambut kelahirannya sudah kami persiapkan, dari uang tabungan yang rajin istriku sembunyikan.
Saat detik-detik kelahiran anakku, aku tidak berani mendampingi istriku, sebab jika melihat darah aku bisa ikut pingsan, dengan pertimbangan biar tidak lebih merepotkan, aku keluar. Di dalam hanya ada ibu mertuaku yang menemani. Aku cemas sekali, mondar mandir kesana kemari, mendengar suara istriku mengerang kasakitan, mendengar suara dokter “ayu sedikit lagi bu, teruskan, pelan-pelan.” Sampai akirnya aku mendengar bayiku menangis dengan lantang.

Akirnya aku jadi ayah setelah lelah saling memapah bersama istriku.
“Anakku…!!!” Ibu mertuaku menjerit, memanggil-manggil istrikku. Aku berlari melihat bayiku yang wajahnya seperti istriku. Dan istrika yang sudah diam dari erangan selamanya.

0 komentar:

Posting Komentar